Dalam Tambo Tulangbawang, Primbon Bayah, dan berita Cina, orang menyebut daerah Banten dengan nama Medanggili. Sebutan ini setidak-tidaknya berlaku hingga abad ke-13. Sementara itu, sumber Cina yang berjudul Shung Peng Hsiang Sung,
yang diperkirakan ditulis tahun 1430, memberitakan bahwa Banten
merupakan suatu tempat yang berada dalam beberapa rute pelayaran yang
dibuat Mao’Kun pada sekitar tahun 1421. Rute pelayaran itu adalah
Tanjung Sekong-Gresik-Jaratan; Banten-Timor; Banten Demak;
Banten-Banjarmasing; Kreug (Aceh)-Barus-Pariaman-Banten. Sementara dalam
buku Ying-Yai-She-Lan (1433) Banten disebut Shut’a yang sangat dekat pelafalannya dengan Sunda. Buku ini merupakan laporan ekspedisi Laksamana Cheng Ho dan Ma Huan ke beberapa tempat di Pulau Jawa.
Dalam catatan orang Eropa yang berasal dari catatan laporan perjalanan Tome Pires
(1513), Banten digambarkan sebagai sebuah kota pelabuhan yang ramai dan
berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Catatan itu menjelaskan juga
bahwa Banten merupakan sebuah kota niaga yang baik karena terletak di
sebuah teluk dan muara sungai. Kota ini dikepalai oleh seorang
syahbandar dan wilayah niaganya tidak hanya menjangkau Sumatera
melainkan juga sampai di Kepulauan Maldwipa. Barang dagangan utama yang
diekspor dari pelabuhan ini ialah lada, beras, dan berbagai jenis
makanan lainnya.
Selain dari sumber asing, ada juga sumber lokal yang menyebut-nyebut Banten. Carita Parahiyangan yang ditulis pada tahun 1518 menyebutkan adanya sebuah tempat yang bernama Wahanten Girang yang terletak agak ke pedalaman. Wahanten Girang dapat dihubungkan dengan nama Banten, bahkan oleh sebagian orang nama kota ini dipandang sebagai kata asal bagi nama Banten.
Pada pertengahan abad ke-16, Banten bukan hanya sebagai pelabuhan
dagang saja, melainkan juga telah tumbuh sebagai pusat kekuasaan
(kerajaan). Kesultanan Banten didirikan oleh dua unsur utama, yaitu
kekuatan politik dan kekuatan ekonomi. Kekuatan politik yang merintis
beridirnya Kesultanan Banten terdiri atas tiga kekuatan utama yaitu
Demak, Cirebon, dan Banten sendiri dengan Sunan Gunung Jati, Fatahillah,
dan Maulana Hasanuddin sebagai pelopornya.
Perintisannya diawali dengan kegiatan penyebaran agama Islam,
kemudian pembentukkan kelompok masyarakat muslim, penguasaan daerah
secara militer (1526), dan akhirnya penguasaan daerah secara politik
sampai berdirinya suatu pemerintahan yang berdiri sendiri yang diberi
nama Kesultanan Banten.
Kekuatan kedua yang melahirkan Kesultanan Banten adalah para pedagang
muslim, baik para pedagang setempat maupun para pedagang yang berasal
dari daerah lainnya. Kenyataan ini didukung oleh suatu kenyataan bahwa
sejak awal abad ke-15 Masehi di pesisir utara teluk Banten telah tumbuh
kantong kantong permukiman orang-orang muslim.
Masalahnya sekarang adalah siapakah yang mendirikan Kesultanan
Banten? Pertanyaan ini perlu dikemukakan mengingat sampai saat ini masih
terdapat dua versi. Versi pertama yang mendirikan Kesultanan Banten
adalah Maulana Hasanudin dan versi kedua menyatakan bahwa Sunan Gunung
Jati merupakan pendiri Kesultanan Banten bersamaan dengan Kesultanan
Cirebon.
Menurut pendapat pertama, Pangeran Hasanudin atas petunjuk ayahnya,
Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), mendirikan Kota Surosowan
sebagai ibukota kerajaan. Setelah kota itu selesai dibangun, Maulana
Hasanudin kemudian diangkat sebagai penguasa pertama Banten, yang pada
waktu itu belum berdaulat karena masih berada di bawah pengaruh
kekuasaan Kerajaan Sunda. Pendapat ini didasarkan pada sebuah teks yang
berbunyi :
Pada waktu itu di Banten sedang timbul huru hara yang disebabkan oleh
Pangeran Sabakingkin, putera Susuhunan Jatipurba dengan para
pengikutnya … orang-orang muslim dan para muridnya, bertambahtambah
dengan kedatangan angkatan bersenjata Demak dan Cirebon
yang telah berlabuh di Pelabuhan Banten, kemudian menyerang dan
memukul … angkatan bersenjata Budha-prawa. Adipati Banten dan
para pengikutnya melarikan diri masuk ke hutan belantara menuju ke
arah tenggara ke kota besar Pakuan Pajajaran. Setelah itu dinobatkanlah
Pangeran Sabakingkin di Negeri Banten dengan gelar Pangeran
Hasanudin oleh ayahnya dipertuan bagi seluruh Daerah Sunda yang
berpusat di Paserbumi yaitu negeri Cirebon atau Carage …”
Menurut pendapat pertama ini, pengangkatan Maulana Hasanudin sebagai
penguasa Banten terjadi tahun 1552, tepat ketika usianya menginjak 27
tahun.
Pendapat ini ditolak oleh Hoesein Djajadiningrat yang berpendapat
bahwa pendiri Kerajaan Banten bukanlah Maulana Hasanudin, melainkan
Sunan Gunung Jati. Selain mendirikan Kerajaan Banten, ia pun mendirikan
Kerajaan Cirebon. Sunan Gunung Jati merupakan orang yang mengangkat
anaknya, Maulana Hasanudin, sebagai Raja Banten Ke-2. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa pada mulanya Banten merupakan tempat kedudukan
Sunan Gunung Jati selaku raja dan Cirebon dikatakan sebagai mandalanya.
Ketika Sunan Gunung Jati pindah ke Cirebon, Banten seolah-olah hanya
menjadi suatu kabupatian saja atau seolah-olah hanya merupakan bagian
dari Kerajaan Cirebon. Dengan demikian, Sunan Gunung Jati membawahi
Banten dan Cirebon sekaligus.
Dalam sumber tradisional, penguasa Banten Girang yang bernama Pucuk
Umun putra Prabu Seda berhasil ditaklukan oleh Syeh Nurullah (Sunan
Gunung Jati). Dengan penaklukan itu, Syeh Nurullah menjadi penguasa baru
di Banten dan telah meletakkan dasar Kerajaan Banten sehingga ia bisa
dianggap sebagai pendiri Kerajaan Banten.
Suksesi
kekuasaan di Banten pertama kali terjadi sekitar tahun 1552 yang
diawali oleh peristiwa terbunuhnya Sultan Trenggana, Sultan Demak Ke-3,
dalam serangan Demak ke Panarukan tahun 1546. Peristiwa ini berdampak
pada melemahnya pengawasan Demak atas Banten. Peristiwa lain yang
mendorong terjadinya suksesi di Banten adalah wafatnya Pangeran Pasarean
pada 1552. Ia merupakan putera Sunan Gunung Jati yang dipercaya
memegang tahta Cirebon mewakili dirinya. Pada tahun itu juga, Sunan
Gunung Jati kembali ke Cirebon dan seiring dengan itu, Sunan Gunung Jati
menyerahkan tahta Banten kepada Hasanudin, puteranya dari hasil
perkawinan dengan Nyai Kawunganten, puteri Pajajaran.
Meskipun Sunan Gunung Jati dapat dianggap sebagai pendiri Kerajaan
Banten, tetapi Pangeran Hasanuddin merupakan orang pertama yang menyusun
kekuatan dan kekuasaan Banten sebagai negara yang berdiri sendiri.
Pangeran Hasanudin-lah yang memerdekan Banten dari Demak sehingga
menjadi kerajaan yang merdeka. Sementara pada masa Sunan Gunung Jati
(1525-1552), Banten merupakan kerajaan vazal Kesultanan Demak.
Dalam membangun Kerajaan Banten, Hasanudin menekankan pada bidang
spiritual dan material. Bidang spiritual ditempuh dengan penyebaran
agama Islam yang dilakukannya dari tahun 1515 hingga 1552. Sementara
itu, bidang material dilakukan dengan memelihara dan mengembangkan
kegiatan perniagaan dan pertanian yang telah ada serta mempertahankan
kedudukan dan peranan Banten sebagai kota pelabuhan. Hal ini
dimungkinkan oleh karena Banten telah menjadi pelabuhan tempat
persinggahan saudagar-saudagar yang sedang menempuh jalan niaga Asia
tradisional.
Para saudagar ini membeli rempah-rempah dari wilayah Indonesia bagian
timur untuk dibawa ke negara-negara di Asia Barat dan Eropa. Dalam
melakukan aktivitas perniagaannya, para saudagar ini menggunakan jalur
perairan Nusa Tenggara, pantai utara Pulau Jawa, Selat Sunda, pantai
Barat Sumatera, dan terus ke India. Jalur niaga ini semakin banyak
dipergunakan oleh para saudagar, terutama saudagar Islam, seiring dengan
jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511. Oleh karena Portugis
menganggap musuh terhadap para saudagar Islam, mereka tidak mau berlabuh
di Malaka. Bahkan lebih dari itu, saudagar saudagar Islam yang telah
menetap di Malaka pun banyak yang pindah ke kota kota pelabuhan lain, di
antaranya ke Banten dan Cirebon. Meskipun Banten dan Cirebon menjadi
tempat menetap para saudagar Islam, namun hanya Banten-lah yang
mengalami kemajuan yang pesat karena kedudukannya lebih strategis
dibandingkan dengan Cirebon.
Ketika
Sunan Gunung Jati masih memegang kekuasaan atas Banten, ia bersama-sama
dengan Fatahillah dan Pangeran Hasanudin berhasil merebut pelabuhan
terpenting Kerajaan Sunda, yakni Sunda Kalapa, pada 1527. Keberhasilan
ini ditandai dengan diubahnya nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta. Nilai
strategis dari peristiwa ini adalah pertama, Banten memegang peranan lebih penting dan dapat menarik perdagangan lada ke pelabuhannya; kedua, Banten telah menggagalkan usaha Portugis di bawah pimpinan Henrique de Leme yang hendak merealisasikan perjanjian dengan Raja Sunda.
Selain menaklukan Sunda Kalapa, beberapa daerah di luar Pulau Jawa
yakni Lampung, Bengkulu, dan Selebar yang berbatasan dengan Sumatera
Barat berhasil dimasukkan juga ke dalam wilayah kekuasaan Banten.
Ekspansi ini dilakukan agar Banten dapat menguasai seluruh perairan
Selat Sunda yang sangat strategis bagi kepentingan pelayaran dan
perdagangan Banten serta bertujuan untuk memperluas kebun lada.
Maulana Hasanuddin wafat pada tahun 1570 dan dimakamkan di samping
Masjid Agung Banten. Maulana Hasanudin merupakan orang yang membangun
Keraton Surosowan dan dikenal oleh rakyatnya sebagai penguasa yang
sangat bijaksana. Oleh karena itu, setelah ia wafat, rakyatnya
memberikan gelar anumerta Pangeran Surosowan Panembahan Sabakingkin.
Julukan ini memiliki makna filosofis bahwa pendiri Keraton Surosowan
adalah Maulana Hasanudin yang sangat bijaksana. Dengan wafatnya Maulana
Hasanudin, rakyat Banten merasakan duka cita yang amat mendalam dan
merindukan adanya kebijaksanaan.
Maulana Hasanuddin kemudian digantikan oleh Maulana Yusuf, putra
pertamanya, sebagai penguasa Banten kedua yang memerintah tahun
1570-1580. Masa pemerintahannya lebih menitikberatkan pada pengembangan
kota, keamanan wilayah, perdagangan, dan pertanian, di samping
melanjutkan politik ekspansi ayahnya. Dalam upaya perluasan wilayah,
daerah pedalaman kerajaan Sunda, termasuk pusat pemerintahannya (Pakuan
Pajajaran), berhasil diduduki oleh pasukan Banten yang dibantu oleh
Cirebon pada tahun 1579 sehingga Kerajaan Sunda akhirnya runtuh. Para
ponggawa yang ditaklukkan lalu diislamkan dan masing-masing dibiarkan
memegang jabatannya semula. Dengan demikian, gangguan keamanan yang
dikhawatirkan datang dari Pajajaran sudah berkurang. Maulana Yusuf dapat
lebih memusatkan perhatiannya pada pembangunan sektor ekonomi dan
pertanian. Proses selanjutnya adalah ditetapkannya batas wilayah
kekuasaan antara Banten dengan Cirebon, yaitu Sungai Citarum dari muara
sampai ke daerah pedalamannya (Cianjur sekarang).
Dengan demikian, pada masa Maulana Yusuf-lah wilayah Kesultanan
Banten membentang dari pesisir utara sampai ke wilayah pedalaman.
Menurut sumber setempat, diceritakan bahwa pada masa ini, daerah yang
sekarang menjadi Kabupaten Lebak, dikenal dengan nama daerah Jagat
Kidul. Daerah ini masih belum aman karena masih sering terjadi
kekacauan. Untuk mengamankan Jagat Kidul, penguasa Banten memerintahkan
Dalem Jasinga, Rd. Mas Tirta Kusumah, untuk mengamankan daerah selatan
ini. Untuk melaksanakan perintah penguasa Banten itu, Dalem Jasinga
pindah dari Jasinga (Bogor) ke Bayah yang diikuti oleh seluruh perangkat
pemerintahannya. Sementara itu, dengan pindahnya Dalem Jasinga ke
Bayah, Jasinga berubah status hanya menjadi setingkat kademangan. Jadi,
menurut sumber lokal ini, cikal-bakal Kabupaten Lebak itu berasal dari
Jasinga dan pertama kali memerintah Jagat Kidul di daerah Bayah. Saat
ini, di daerah Bayah terdapat petilasan yang diyakini sebagai makam Rd.
Mas Tirta Kusumah.
Kegagalan Pangeran Jepara untuk menduduki tahta Banten berdampak
secara politik karena Banten mulai dapat menegakkan kedudukannya dengan
sedikit demi sedikit membebaskan dari pengaruh kerajaan-kerajaan Jawa
Tengah. Pergolakan serta pergeseran kekuasaan di Jawa Tengah yakni Demak
dapat ditundukkan oleh Pajang (1581) dan kemudian Pajang oleh Mataram
merupakan faktor pendorong kedua berdaulatnya Kesultanan Banten.
Demikianlah, Maulana Muhammad menduduki tahta Banten menggantikan
Maulana Yusuf yang kemudian bergelar Kanjeng Ratu Banten Surosowan atau Pangeran Ratu ing Banten (1580-1596.
Maulana Muhammad berkehendak untuk mengembangkan perniagaan
Kesultanan Banten dengan cara menguasai rute pelayaran dari dan ke Selat
Malaka. Untuk mewujudkan kehendaknya itu, ia kemudian melakukan upaya
untuk mengusai Palembang yang memang terletak tidak terlalu jauh dari
rute pelayaran tersebut. Meskipun demikian, kehendak mengusai rute
pelayaran itu tidaklah murni keinginan Maulana Muhammad, karena ia pun
mendapat pengaruh kuat dari Pangeran Mas yang berambisi menduduki tahta
di Palembang. Untuk menundukan Palembang, Maulana Muhammad yang
didampingi oleh Mangkubumi dan Pangeran Mas mengerahkan sekitar 200
kapal perang. Selain itu, Maulana Muhammad pun memerintahkan Lampung,
Seputih, dan Semangka untuk mengerahkan tentaranya melakukan serangan
dari darat. Dalam pertempuran beberapa hari di sekitar Sungai Musi,
Maulana Muhammad tewas dan tidak lama kemudian pasukan Banten kembali ke
negaranya tanpa membawa hasil apapun. Setelah dikebumikan di serambi
Masjid Agung Banten, Maulana Muhammad kemudian dikenal dengan sebutan Prabu Seda ing Palembang atau Pangeran Seda ing Rana.
Sepeninggal Maulana Muhammad, sejak tahun 1596, tahta Kesultanan
Banten diserahkan kepada Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir yang baru
berusia lima bulan. Ia merupakan anak satu-satunya Maulana Muhammad dari
pernikahannya dengan Ratu Wanagiri, putri Mangkubumi. Untuk menjalankan
roda pemerintahan Mangkubumi Jayanagara ditunjuk sebagai walinya hingga
ia meninggal dunia tahun 1602 yang kemudian digantikan oleh adiknya.
Akan tetapi, pada tanggal 17 Nopember 1602 ia dipecat karena berkelakuan
tidak baik. Untuk menghilangkan kekhawatiran terjadinya konflik di
antara pangeran dan pembesar kerajaan, perwalian atas diri sultan
diserahkan sepenuhnya kepada Nyai Gede Wanagiri. Selain itu, jabatan
mangkubumi pun dihapuskan dari struktur kekuasaan Kesultanan Banten,
karena jabatan ini pun menjadi rebutan di kalangan pangeran dan pembesar
kerajaan.
Pada
bulan Januari 1624, Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdulkadir (1596-1651)
sepenuhnya memegang kekuasaan atas Kesultanan Banten, karena ia
dipandang sudah cukup dewasa. Penyerahan kekuasaan ini dilakukan oleh
Pangeran Arya Ranamanggala39 sebagai mangkubumi terakhir Kesultanan
Banten. Setelah memegang tahta Kesultanan Banten, bidang pertanian,
pelayaran, dan kesehatan rakyat menjadi perhatian utama Sultan Banten
ini. Selain itu, Ia pun berhasil menjalin hubungan diplomatik dengan
negara-negara lain, terutama dengan negara-negara Islam. Pada 1636,
penguasa Arab di Mekkah memberikan sultan kepada dirinya sehingga dialah
penguasa Banten pertama yang memakai gelar sultan. Sultan Abdul
Mufakhir bersikap tegas terhadap siapapun yang mau memaksakan
kehendaknya kepada Banten. Misalnya ia menolak mentah-mentah kemauan VOC
yang hendak memaksakan monopoli perdagangan di Banten.
Keinginan VOC untuk melakukan monopoli perdagangan lada merupakan
sumber konflik antara Banten dan VOC. Konflik tersebut semakin menajam,
seiring dengan semakin kuatnya kedudukan VOC di Batavia yang dikuasai
mereka sejak 1619. Untuk mewujudkan keinginan tersebut, VOC menerapkan
blokade terhadap pelabuhan niaga Banten dengan melarang dan mencegat jung-jung dari
Cina dan perahu-perahu dari Maluku yang akan berdagang ke pelabuhan
Banten. Blokade ini mengakibatkan pelabuhan Banten menjadi tidak
berkembang sehingga mendorong orang-orang Banten untuk memprovokasi VOC
dengan cara menjadi “perompak” di laut dan “perampok” di darat.
Tindakan ini dibalas oleh VOC dengan melakukan ekspedisi ke Tanam,
Anyer, Lampung, dan Kota Banten sendiri berkali-kali diblokade. Situasi
ini mendorong terjadinya perang antara Banten dan VOC pada bulan
Nopember 1633. Enam tahun kemudian, kedua belah pihak menandatangani
perjanjian perdamaian meskipun selama dua dasawarsa berikutnya hubungan
mereka tetap tegang.
Sepeninggalnya Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir pada 10 Maret
1651, dan kedudukannya sebagai Sultan Banten digantikan oleh Pangeran
Adipati Anom Pangeran Surya, putra Abu al-Ma’ali Ahmad, ketegangan
dengan VOC terus berlanjut. Bahkan dapatlah dikatakan bahwa puncak
konflik dengan VOC terjadi ketika Kesultanan Banten berada di bawah
kekuasaan Pangeran Adipati Anom Pangeran Surya yang memiliki gelar Sultan Abu Al Fath Abdul Fattah Muhammad Syifa Zaina Al Arifin atau lebih dikenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1684).
Sultan Ageng Tirtayasa selain seorang ahli strategi perang, ia pun
menaruh perhatian besar terhadap perkembangan pendidikan agama Islam di
Banten. Untuk membina mental para prajurit Banten, didatangkan guru-guru
agama dari Arab, Aceh, dan daerah lainnya. Salah seorang guru agama
tersebut adalah seorang ulama besar dari Makassar yang bernama Syekh
Yusuf gelar Tuanta Salamaka atau Syekh Yusuf Taju’l Khalwati, yang kemudian dijadikan mufti agung, sekaligus guru dan menantu Sultan Ageng Tirtayasa.
Selain mengembangkan perdagangan, Sultan Ageng Tirtayasa berupaya
juga untuk memperluas wilayah pengaruh dan kekuasaan ke wilayah
Priangan, Cirebon, dan sekitar Batavia. Politik ekspansi ini dilakukan
oleh Sultan Ageng Tirtayasa dengan tujuan untuk mencegah perluasan
wilayah kekuasaan Mataram dan perluasaan kekuasaan VOC yang dilakukan
dengan cara memaksakan monopoli perdagangan di Banten. Sultan Ageng
Tirtayasa meneruskan usaha kakeknya mengirimkan tentara Banten untuk
melakukan gangguan-gangguan terhadap Batavia sebagai balasan bagi
tindakan VOC yang terus-menerus merongrong kedaulatan Banten. Pada 1655,
VOC mengajukan usul agar Sultan Banten segera memperbaharui perjanjian
damai yang dibuat tahun 1645. Oleh Sultan Ageng Tirtayasa usul itu
ditolak karena selama VOC ingin menang sendiri, pembaharuan itu tidak
akan mendatangkan keuntungan bagi Banten.
Usaha
Sultan Ageng Tirtayasa baik dalam bidang politik diplomasi maupun di
bidang pelayaran dan perdagangan dengan bangsa-bangsa lain semakin
meningkat. Pelabuhan Banten makin ramai dikunjungi para pedagang asing
dari Persi (Iran), India, Arab, Cina, Jepang, Pilipina, Malayu, Pegu,
dan lainnya. Demikian pula dengan bangsa-bangsa dari Eropa yang
bersahabat dengan Inggris, Perancis, Denmark, dan Turki. Sultan Ageng
Tirtayasa telah membawa Banten ke puncak kemegahannya. Di samping
berhasil memajukan pertanian dengan sistem irigasi ia pun berhasil
menyusun kekuatan angkatan perangnya, memperluas hubungan diplomatik,
dan meningkatkan volume perniagaan Banten sehingga Banten menempatkan
diri secara aktif dalam dunia perdagangan internasional di Asia.
Dalam mengembangkan negaranya, Sultan Banten bukan tidak menghadapi
kesulitan dan tantangan. Kehidupan perniagaan biasa menimbulkan
persaingan di kalangan kelompok-kelompok pedagang yang kadang-kadang
merugikan dan menyulitkan Banten. Orang Belanda termasuk pedagang yang
sering mendatangkan kesulitan bagi Banten. Armada Belanda yang
berpangkalan di Batavia beberapa kali melakukan blokade terhadap
pelabuhan Banten untuk memaksakan kehendaknya guna menjalankan monopoli
perdagangan, seperti terjadi tahun 1655 dan 1657. Bahkan tahun
berikutnya (1658) terjadi bentrokan senjata selama sekitar satu tahun
antara pasukan Banten dan VOC di daerah Angke, Tangerang, dan di
perairan Banten. Selain itu, hubungan Banten dengan Mataram pun sering
diwarnai oleh ketegangan, akibat besarnya keinginan Mataram untuk
berkuasa atas seluruh Pulau Jawa dan menjadikan Banten berada di bawah
kekuasaannya, tetapi Banten selalu menolaknya. Hal itu terjadi, misalnya
pada tahun 1628 dan 1649.47 Keadaan itu semua memaksakan Banten harus
meningkatkan kekuatan militernya dan sering mengirimkan kelompok pasukan
ke daerah perbatasan dengan Batavia dan Mataram.
Banten menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif. Banten
membuka pintu kepada siapa pun yang mau berhubungan baik dan kerja sama
dengan Kesultanan Banten. Sebaliknya, siapa pun akan dipandang tidak
bersahabat, bila mengganggu kedaulatan Banten. Kesultanan Banten aktif
membina hubungan baik dan kerjasama dengan berbagai pihak di sekitarnya
atau di tempat yang jauh sekalipun. Sekitar tahun 1677 Banten mengadakan
kerjasama dengan Trunojoyo yang sedang memberontak terhadap Mataram.
Dalam pada itu, dengan Makasar, Bangka, Cirebon, dan Indrapura dijalin
hubungan baik.
Demikian pula hubungannya dengan Cirebon, sejak awal telah terjadi
hubungan erat dengan Cirebon melalui pertalian keluarga (kedua keluarga
keraton adalah keturunan Syarif Hidayatullah) dan kerjasama bidang
keagamaan, militer, dan diplomatik. Dalam hal ini, Cirebon pernah
membantu Banten dengan mengirim pasukan militer dalam upaya menduduki
ibukota Kerajaan Sunda. Sebaliknya, Banten membantu Cirebon dalam
membebaskan dua orang putera Panembahan Girilaya, yaitu Pangeran
Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, yang ditahan di ibu kota Mataram
dan pasukan Trunojoyo di Kediri tahun 1677. Walaupun begitu, hubungan
Banten dengan Cirebon pernah pula diwarnai oleh suasana lain. Jika
terjadi konflik antara Banten dengan Mataram, Cirebon selalu bersikap
netral, walaupun kadang-kadang Banten mendesak Cirebon agar memihak
kepadanya dan kadang-kadang Mataram mendesak Cirebon agar berpihak
kepadanya.50 Di samping itu, atas jasa Banten dalam membebaskan dan
mengembalikan Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya dari tahanan
Mataram dan tentara Trunojoyo serta mengembalikan mereka ke Cirebon,
bahkan mengangkatnya menjadi Sultan di Cirebon, sejak 1676 kekuasaan
Banten masuk ke dalam keraton Cirebon. Hal ini berlangsung sampai tahun
1681, ketika Cirebon menjalin hubungan dan kerjasama dengan VOC.
Selain
membawa Banten ke puncak kejayaannya, era kepemimpinan Sultan Ageng
Tirtayasa diwarnai pula dengan konflik antara Banten dengan VOC yang
semakin memuncak. Pada awalnya, Sultan Ageng Tirtayasa berusaha mengajak
Mataram untuk secara bersama-sama menghadapi VOC. Akan tetapi, usaha
tersebut gagal dilakukan seiring dengan lemahnya kepemimpinan Sunan
Amangkurat II yang telah menandatangani perjanjian dengan VOC yang
sangat merugikan Mataram. Dengan adanya perjanjian Sultan Ageng
Tirtayasa tidak bisa memutuskan hubungan Mataram dengan VOC sehingga
perhatiannya ditujukan terhadap Cirebon. Ia berupaya membangkitkan
perlawanan rakyat Cirebon terhadap VOC, meskipun tetap mengalami
kegagalan. Dengan demikian, Sultan Ageng Tirtayasa harus berhadapan
sendiri dengan VOC.
Bersamaan dengan itu, Banten mengalami perpecahan dari dalam, putra
mahkota Sultan Abu Nasr Abdul Kahar yang dikenal dengan Sultan Haji
diangkat jadi pembantu ayahnya mengurus urusan dalam negeri. Sedangkan
urusan luar negeri dipegang oleh Sultan Ageng Tirtayasa dan dibantu oleh
putera lainnya, Pangeran Arya Purbaya. Pemisahan urusan pemerintahan
ini tercium oleh wakil Belanda di Banten, W. Caeff yang kemudian
mendekati dan menghasut Sultan Haji. Karena termakan hasutan VOC, Sultan
Haji menuduh pembagian tugas ini sebagai upaya menyingkirkan dirinya
dari tahta kesultanan. Agar tahta kesultanan tidak jatuh ke tangan
Pangeran Arya Purbaya, Sultan Haji kemudian bersekongkol dengan VOC
untuk merebut tahta kekuasaan Banten. Persekongkolan ini dilakukan oleh
Sultan Haji setelah Sultan Ageng Tirtayasa lebih banyak tinggal di
keraton Tirtayasa.
VOC, yang sangat ingin menguasai Banten, bersedia membantu Sultan
Haji untuk mendapatkan tahta kesultanan. Untuk itu, VOC mengajukan empat
syarat yang mesti dipenuhi oleh Sultan Haji. Pertama, Banten harus menyerahkan Cirebon kepada VOC. Kedua,
VOC akan diizinkan untuk memonopoli perdagangan lada di Banten dan
Sultan Banten harus mengusir para pedagang Persia, India, dan Cina dari
Banten. Ketiga, apabila ingkar janji, Kesultanan Banten harus membayar 600.000 ringgit kepada VOC. Keempat, pasukan Banten yang menguasai daerah pantai dan pedalaman Priangan harus segera ditarik kembali.
Oleh karena dijanjikan akan segera menduduki tahta Kesultanan Banten,
persyaratan tersebut diterima oleh Sultan Haji. Dengan bantuan pasukan
VOC, pada tahun 1681 Sultan Haji melakukan kudeta kepada ayahnya dan
berhasil menguasai istana Surosowan. Istama Surosowan tidak hanya
berfungis sebagai tempat kedudukan Sultan Haji, tetapi juga sebagai
simbol telah tertanamnya kekuasaan VOC atas Banten. Melihat situasi
politik tersebut, tanggal 27 Pebruari 1682 pasukan Sultan Ageng
Tirtayasa Istana Surosowan untuk mengepung Sultan Haji dan VOC yang
telah menduduki Istana Surosowan. Serangan itu dapat menguasai kembali
Istana Surosowan dan Sultan Haji segera dibawa ke loji VOC serta
mendapat perlindungan dari Jacob de Roy.
Mengetahui bahwa Sultan Haji telah berada di bawah perlidungan VOC,
pasukan Sultan Ageng Tirtayasa bergerak menuju loji VOC untuk
menghancurkannya. Di bawah pimpinan Kapten Sloot dan W. Caeff, pasukan
Sultan Haji bersama-sama dengan pasukan VOC mempertahankan loji itu dari
kepungan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa. Akibat perlawanan yang sangat
kuat dari pasukan Sultan Ageng Tirtayasa, bantuan militer yang dikirim
dari Batavia tidak dapat mendarat di Banten. Akan tetapi, setelah ada
kepastian bahwa VOC akan diberi izin monopoli perdagangan di Banten oleh
Sultan Haji, pada 7 April 1682 bantuan dari Batavia itu memasuki Banten
di bawah komando Tack dan De Saint Martin. Dengan kekuatan yang besar,
pasukan VOC menyerang Keraton Surosowan dan Keraton Tirtayasa serta
berhasil membebaskan loji VOC dari kepungan Sultan Ageng Tirtayasa.
Meskipun demikian, Sultan Ageng Tirtayasa terus melakukan perlawanan
hebat yang dibantu oleh orang-orang Makassar, Bali, dan Melayu. Markas
besar pasukannya ada di Margasama yang diperkuat oleh sekitar 600 sampai
800 orang prajurit di bawah komando Pangeran Suriadiwangsa. Sementara
itu, Pangeran Yogya mempertahankan daerah Kenari dengan kekuatan sekitar
400 orang; Kyai Arya Jungpati dengan jumlah pasukan sekitar 120 orang
mempertahankan daerah Kartasana. Sekitar 400 orang mempertahankan daerah
Serang; 400 sampai 500 orang mempertahankan daerah Jambangan; sebanyak
500 orang berupaya untuk mempertahankan Tirtayasa; dan sekitar 100 orang
memperkuat daerah Bojonglopang.
Serangan hebat yang dilakukan oleh pasukan VOC berhasil mendesak
barisan Banten sehingga Margasana, Kacirebonan, dan Tangerang dapat
dikuasai juga oleh VOC. Sultan Ageng kemudian mengundurkan diri ke
Tirtayasa yang dijadikan pusat pertahanannya. Tanara dan Pontang juga
diperkuat pertahanannya. Di Kademangan ada pasukan sekitar 1.200 orang
di bawah pimpinan Arya Wangsadiraja. Mereka cukup lama dapat bertahan,
tetapi pada tanggal 2 Desember 1682 Kademangan akhirnya jatuh juga
setelah terjadi pertempuran sengit antara kedua pasukan. Dalam
serangkaian pertempuran ini di kedua belah pihak banyak yang gugur.
Sebagian pasukan Banten mengungsi ke Ciapus, Pagutan, dan Jasinga.
Dengan jatuhnya pertahanan Kademangan, tinggal Tirtayasa yang menjadi
bulan-bulanan VOC. Serangan umum dimulai dari daerah pantai menuju
Tanara dan Tangkurak. Pada tanggal 28 Desember 1682 pasukan Jonker,
Tack, dan Miichielsz menyerang Pontang, Tanara, dan Tirtayasa serta
membakarnya. Ledakan-ledakan dan pembakaran menghancurkan keraton
Tirtayasa. Akan tetapi Sultan Ageng Tirtayasa berhasil menyelamatkan
diri ke pedalaman. Pangeran Arya Purbaya juga berhasil lolos dengan
selamat dengan terlebih dahulu membakar benteng dan keratonnya.
Pihak VOC berusaha beberapa kali untuk mencari Sultan Ageng Tirtayasa
dan membujuknya untuk menghentikan perlawanan dan turun ke Banten.
Untuk menangkap Sultan Ageng Tirtayasa, VOC memerintahkan Sultan Haji
untuk menjemput ayahnya. Ia kemudian mengutus 52 orang keluarganya ke
Ketos dan pada malam menjelang tanggal 14 Maret 1683 iring-iringan
Sultan Ageng Tirtayasa memasuki Istana Surosowan. Setibanya di Istana
Surosowan, Sultan Haji dan VOC segera menangkap Sultan Ageng Tirtayasa
dan dipenjarakan di Batavia sampai ia meninggal tahun 1692. Penangkapan
itu telah mengakhiri peperangan Banten melawan VOC sehingga berkibarlah
kekuasaan VOC di wilayah Banten.
Meskipun demikian, rakyat Banten masih melakukan perlawanan walaupun
semuanya tidaklah begitu berarti. Tidak lama setelah itu, dengan restu
VOC, Sultan Haji dinobatkan menjadi Sultan Banten (1682-1687). Penobatan
ini disertai beberapa persyaratan sehingga Kesultanan Banten tidak lagi
memiliki kedaulatan. Persyaratan tersebut kemudian dituangkan dalam
sebuah perjanjian yang ditandatangani pada 17 April 1684 yang isinya
sebagai berikut.
- Bahwa semua pasal serta ayat yang tercantum pada perjanjian 10 Juli 1659 mendapat pembaharuan, dan pasal yang masih dipercayai dan menguntungkan bagi kedua belah pihak akan dipelihara baik-baik tanpa pembaharuan. Di samping itu kedua belah pihak menganggap sebagai kedua kerajaan yang bersahabat yang dapat memberikan keuntungan bagi kedua belahnya. Tambahan bahwa Sultan Banten tidak boleh memberikan bantuan apa pun kepada musuh-musuh VOC, baik berupa senjata, alat perang atau bahan perbekalan, demikian pula halnya kepada sahabat VOC dan terutama sunan atau susuhunan atau putera-putera mahkota Cirebon tidak boleh mencoba melakukan penyerangan atau permusuhan karena ketenangan dan perdamaian di Jawa bagaimanapun harus terlaksana.
- Dan oleh karena penduduk kedua belah pihak harus ada ketenangan dan bebas dari segala macam pembunuhan dan perampokan yang dilakukan oleh orang-orang jahat di hutan-hutan dan pegunungan, maka orang Banten dilarang mendatangi daerah termasuk Jakarta baik di sungai-sungainya maupun di anak-anak sungainya. Sebaliknya juga bagi orang Jakarta tidak boleh mendatangi daerah dan sungai ataupun anak sungainya yang ternasuk Banten. Kecuali kalau disebabkan keadaan darurat masing-masing diperbolehkan memasuki daerah tersebut tetapi dengan surat izin jalan yang sah, dan kalau tidak maka akan dianggap sebagai musuh yang dapat ditangkap atau dibunuh tanpa memutuskan perjanjian perdamaian itu.
- Dan karena harus diketahui dengan pasti sejauh mana batas daerah kekuasaan yang sejak jaman lampau telah dimaklumi, maka tetap ditentukan daerah yang dibatasi oleh Sungai Untung Jawa (Cisadane) atau Tanggerang dari pantai laut hingga pegunungan sejauh aliran sungai tersebut dengan kelokannya dan kemudian menurut garis lurus dari daerah selatan hingga utara sampai di lautan selatan. Bahwa semua tanah di sepanjang Sungai Untung Jawa atau Tanggerang akan menjadi milik atau ditempati VOC.
- Dalam hal itu setiap kapal VOC atau kepunyaan warganya, begitu pula kepunyaan Sultan Banten dan warganya, jika terdampar atau mendapat kecelakaan di laut Jawa dan sumatera, harus mendapat pertolongan baik penumpangnya atau pun barangbarangnya.
- Bahwa atas kerugian, kerusakan yang terjadi sejak perjanjian tahun 1659 yang diakibatkan oleh Sultan dan kesultanan Banten sebagaimana telah jelas dinyatakan pada tahun 1680 oleh utusan Banten dan demikian pula akibat pembunuhan dan perampokan oleh Pangeran Aria Sura di loji VOC sehingga ada pembunuhan kepala VOC Jan van Assendelt, dan segala kerugian-kerugian lainnya harus diganti oleh Sultan dengan uang sejumlah 12.000 ringgit kepada VOC.
- Setelah perjanjian ditandatangani dan disahkan oleh kedua belah pihak maka baik tentara pengawal, pembunuh atau pelanggar hukum VOC atau juga orang partikelir yang bersalah tanpa membedakan golongan atau kebangsaan dari sini atau dari tempat lainnya di daerah VOC, jika datang ke daerah Banten atau tempat lain yang ada di bawah daerah hukum VOC akan segera ditahan dan kemudian diserahkan kembali kepada perwakilan VOC.
- Bahwa karena Banten tidak merupakan satu-satunya penguasa terhadap Cirebon maka harus dinyatakan bahwa kekuasaan raja-raja Cirebon dapat ditinjau kembali sebagai sahabat yang bersekutu di bawah perlindungan VOC yang juga di dalam ikatan perdamaian dan persahabatan ini telah dimengerti oleh kedua belah pihak.
- Bahwa berkenaan dengan isi perjanjian tahun 1659 pasal empat dimana dinyatakan bahwa VOC tidak perlu memberikan sewa tanah atau rumah untuk loji, maka menyimpang dari hal itu VOC akan menentukan pembayaran kembali dengan cara debet.
- Sultan berkewajiban untuk di waktu yang akan datang tidak mengadakan perjanjian atau persekutuan atau perserikatan dengan kekuatan atau bangsa lain karena bertentangan dengan isi perjanjian ini.
- Karena perjanjian ini harus tetap terpelihara dan berlaku terus hingga masa yang akan datang, maka Paduka Sri Sultan Abdul Kahar Abu Nasr beserta keturunannya harus menerima seluruh pasal dalam perjanjian ini, dan dimaklumi, dianggap suci, dipercayai dan benar-benar akan dilaksanakan dan kemudian oleh segenap pembesar kerajaan tanpa penolakan sebagaimana pula dari pihak VOC yang diwakili oleh misi komandan dan Presiden Francois Tack, Kapten Herman Dirkse Wanderpoel, pedagang Evenhart van der Schuer, dan kapten bangsa Melayu Wan Abdul Bagus dari atas nama Gubernur Jenderal VOC dan Dewan Hindia juga atas nama Dewan Jenderal VOC Belanda.
Perjanjian ini ditandatangani oleh kedua belah pihak, dari pihak
Banten diwakili oleh Sultan Abdul Kahar, Pangeran Dipaningrat, Kiyai
Suko Tajuddin, Pangeran Natanagara, dan Pangeran Natawijaya, sementara
dari pihak Belanda diwakili oleh Komandan dan Presiden Komisi Francois
Tack, Kapten Herman Dirkse Wonderpoel, Evenhart van der Schuere, serta
kapten bangsa Melayu Wan Abdul Bagus. Perjanjian itu sangat jelas
meniadakan kedaulatan Banten karena dengan perjanjian itu segala sesuatu
yang berkaitan dengan urusan dalam dan luar negeri harus atas
persetujuan VOC. Dengan ditandatanganinya perjanjian itu, selangkah demi
selangkah VOC mulai menguasai Kesultanan Banten dan sebagai simbol
kekuasaannya, pada tahun 1684-1685 VOC mendirikan sebuah benteng
pertahanan di bekas benteng kesultanan yang dihancurkan. Selain itu,
didirikan pula benteng Speelwijk sebagai bentuk penghormatan kepada
Speelman yang menjadi Gubernur Jenderal VOC dari tahun 1682 sampai
dengan 1685. Demikian pula Banten sebagai pusat perniagaan antarbangsa
menjadi tertutup karena tidak ada kebebasan melaksanakan politik
perdagangan, kecuali atas izin VOC.
Penderitaan rakyat semakin berat bukan saja karena pembersihan atas
pengikut Sultan Ageng Tirtayasa serta pajak yang tinggi karena sultan
harus membayar biaya perang, tetapi juga karena monopoli perdagangan
VOC. Rakyat dipaksa untuk menjual hasil pertaniannya terutama lada dan
cengkeh kepada VOC dengan harga yang sangat rendah. Pedagang-pedagang
bangsa Inggris, Perancis, dan Denmark diusir dari Banten dan pindah ke
Bangkahulu, karena banyak membantu Sultan Ageng Tirtayasa.
Dengan kondisi demikian, sangatlah wajar kalau masa pemerintahan
Sultan Haji banyak terjadi kerusuhan, pemberontakan, dan kekacauan di
segala bidang yang ditimbulkan oleh rakyat. Selain menghadapi
penentangan dari rakyatnya sendiri, Sultan Haji pun menghadapi suatu
kenyataan bahwa VOC merupakan tuan yang harus dituruti segala
kehendaknya. Karena tekanan-tekanan itu, akhirnya Sultan Haji jatuh
sakit hingga meninggal dunia pada tahun 1687.
Jenazahnya dimakamkan di sebelah utara mesjid agung Banten, sejajar
dengan makam ayahnya. Sepeninggal Sultan Haji terjadilah perebutan
kekuasaan di antara anak-anaknya. Pertingkaian itu dapat diselesaikan
setelah Gubernur Jenderal VOC van Imhoff turun tangan dengan mengangkat
anak pertama, Pangeran Ratu menjadi Sultan Banten dengan gelar Sultan
Abu’l Fadhl Muhammad Yahya (1687-1690). Ternyata Sultan Abu’l Fadhl
termasuk orang yang sangat membenci Belanda. Ditatanya kembali Banten
yang sudah porak poranda itu. Akan tetapi baru berjalan tiga tahun, ia
jatuh sakit yang mengakibatkan kematiannya. Jenazahnya dimakamkan di
samping kanan makam Sultan Hasanuddin di Pasarean Sabakingkin.
Oleh karena Sultan Abu’l Fadhl Muhammad Yahya tidak mempunyai anak,
tahta kesultanan diserahkan kepada adiknya Pangeran Adipati dengan gelar
Sultan Abu’l Mahasin Muhammad Zainul Abidin juga biasa disebut Kang
Sinuhun ing Nagari Banten yang menjadi gelar sultan-sultan Banten
berikutnya. Ia memerintah dari tahun 1690 sampai 1733.61 Putra Sultan
Abu’l Mahasin yang sulung meninggal dunia dibunuh orang sehingga yang
menggantikan tahta kesultanan pada tahun 1733 adalah putra keduanya yang
kemudian bergelar Sultan Abulfathi Muhammad Shifa Zainul Arifin
(1733-1747).
Pada masa pemerintahan Sultan Zainul Arifin ini sering terjadi
pemberontakan rakyat yang tidak senang dengan perlakuan VOC yang sudah
di luar batas kemanusiaan. Memang pada awal abad ke-18 terjadi perubahan
politik VOC dalam pengelolaan daerah yang dikuasainya. Monopoli
rempah-rempah dianggapnya sudah tidak menguntungkan lagi karena Inggris
sudah berhasil menanam cengkeh di India sehingga harga cengkeh di Eropa
pun turun. Oleh karena itu, VOC mengalihkan usahanya dengan menanam tebu
dan kopi di samping rempah-rempah yang kemudian hasilnya harus dijual
kepada VOC dengan harga yang telah ditetapkan secara sepihak oleh VOC.
Untuk keperluan penanaman tebu dan kopi itu, VOC banyak membutuhkan
tanah yang luas dan tenaga kerja murah. Maka mulailah penaklukkan
daerah-daerah pedalaman. Raja yang menguasai daerah itu diharuskan
menanam tebu atau kopi yang kemudian hasilnya harus dijual kepada VOC
dengan harga yang sudah ditentukan. Rakyat dipaksa menanami sebagian
tanahnya dengan tebu atau kopi yang hasilnya harus dijual kepada raja,
yang kemudian menjualnya kembali kepada VOC. Sering terjadi, VOC membeli
kopi dari raja seharga 21 ringgit per pikul, sedangkan raja membayar
hanya 5 ringgit kepada petani. Demikian pula cara penimbangan yang
semberono, jenjang birokrasi perdagangan yang berbelit-belit,
menyebabkan kerugian pada rakyat petani. Sebagai gambaran dapatlah
dikemukakan sebagai berikut: Sultan menjual lada kepada VOC seharga 15
mat Spanyol per bahar (375 pon), sedangkan sultan sendiri membelinya
dari pejabat yang ditunjuknya seharga 7,8 atau 9 mat Spanyol, dan
pejabat tersebut membeli dari rakyat seharga 4 mat Spanyol yang
dibayarnya dengan cara penukaran barang kebutuhan sehari-hari seperti
garam, kain, beras, dan lauk-pauk yang diperhitungkan dengan harga
tinggi, sehingga si petani hampir tidak mendapat apa-apa dari hasil
buminya itu.
Sementara itu, di keraton pun terjadi keributan dan kekacauan
pemerintahan. Sultan Zainul Arifin tidak mampu melepaskan diri dari
pengaruh Ratu Syarifah Fatimah, seorang janda seorang letnan Melayu di
Batavia yang dinikahi dan dijadikan permaisurinya. Ketidakberdayaan itu
terlihat dari keputusan Sultan Zainul Arifin yang membatalkan penunjukan
Pangeran Gusti sebagai putra mahkota. Atas pengaruh Ratu Syarifah
Fatimah dan persetujuan VOC, Sultan Zainul Arifin mengangkat Pangeran
Syarif Abdullah, menantu Ratu Fatimah dari suaminya yang terdahulu,
menjadi putra mahkota. Setelah dibatalkan sebagai putra mahkota, atas
suruhan Ratu Syarufah Fatimah, Pangeran Gusti disuruh pergi ke Batavia
dan di tengah perjalanan ditangkap tentara VOC dan diasingkan ke Sailan
pada tahun 1747. Tidak lama setelah menantunya diangkat menjadi putra
mahkota, Ratu Syarifah Fatimah memfitnah suaminya gila sehingga sultan
ditangkap oleh VOC dan diasingkan ke Ambon sampai meninggal. Sebagai
gantinya Pangeran Syarif Abdullah dinobatkan sebagai Sultan Banten pada
tahun 1750 dengan gelar Sultan Syarifuddin Ratu Wakil. Meskipun
demikian, Ratu Fatimah-lah yang memegang kuasa atas pemerintahan di
Kesultanan Banten.
Kecurangan yang dilakukan Ratu Fatimah ini bagi rakyat dan sebagian
pembesar negeri merupakan suatu penghinaan besar dan penghianatan yang
sudah tidak bisa diampuni lagi sehingga rakyat pun melakukan perlawanan
bersenjata. Di bawah pimpinan Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang, mereka
menyerbu Surosowan. Strategi yang diterapkan oleh Ki Tapa dan Ratu Bagus
Buang adalah membagi pasukannya menjadi dua kelompok. Kelompok pertama
yang dipimpin oleh Ratu Bagus Buang diberi tugas untuk melakukan
penyerangan ke Kota Surasowan. Sementara itu, Ki Tapa memimpin kelompok
kedua dengan tugas mencegat bantuan pasukan VOC dari Batavia. Hanya
dengan bantuan tambahan yang didatangkan langsung dari Negeri Belanda,
VOC dapat memukul mundur pasukan Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang. Untuk
melanjutkan perjuangannya, Ki Tapa menyingkir ke daerah pedalaman Banten
dan menjadikan Sajira yang terletak di Lebak sebagai salah satu pusat
pertahanannya.
Untuk menenangkan rakyat Banten, Gubernur Jenderal VOC Jacob Mossel,
memerintahkan wakilnya di Banten untuk menangkap Ratu Syarifah Fatimah
dan Sultan Syarifuddin yang dianggapnya sebagai sumber kekacauan.
Keduanya kemudian diasingkan ke daerah Maluku, Ratu Fatimah ke Saparua
dan Sultan Syarifuddin ke Banda. Tidak lama setelah itu, tepatnya pada
1752, VOC mengangkat Pangeran Arya Adisantika, adik Sultan Zainul
Arifin, menjadi Sultan Banten dengan gelar Sultan Abulma’ali Muhammad
Wasi’ Zainal ‘Alimin. Selain itu, Jacob Mossel pun segera mengembalikan
Pangeran Gusti dari tempat pengasingannya dan ditetapkan sebagai putra
mahkota.66 Akan tetapi dengan pengangkatan itu, Sultan Abulma’ali harus
menandatangani perjanjian dengan VOC yang isinya semakin memperkuat dan
mempertegas kekuasaan VOC atas Banten. Isi perjanjian itu selengkapnya
berbunyi sebagai berikut.
- Banten di bawah kuasa penuh VOC Belanda walaupun pemerintahan tetap di tangan Sultan.
- Sultan akan mengirim utusan ke Batavia setiap tahun sambil membawa upeti berupa lada yang jumlahnya ditetapkan VOC.
- Hanya VOC Belanda yang boleh mendirikan benteng di Banten.
- Banten hanya boleh menjual kopi dan tebu kepada VOC saja.
- Sejalan dengan bunyi pasal 4, banyaknya produksi kopi dan tebu di Banten haruslah ditentukan VOC.
Perjanjian itu sangat merugikan Banten sehingga Pangeran Gusti,
beberapa pangeran, dan pembesar keraton lainnya menjadi gusar. Rakyat
kembali mengadakan hubungan dengan Ki Tapa di Sajira, Lebak. Di bawah
kepemimpinan Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang kembali mengangkat senjata
menentang VOC.
Sementara itu, para pangeran dan pembesar keraton melakukan
pengacauan di dalam kota. Dengan susah payah VOC akhirnya dapat
melumpuhkan seranganserangan tersebut. Perlawanan rakyat yang dipimpin
oleh Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang, mengakibatkan Sultan Abulma’ali
Muhammad Wasi’zainul ‘Alamin menyerahkan kekuasaannya kepada Pangeran
Gusti. Pada tahun 1753 Pangeran Gusti dinobatkan menjadi sultan dengan
gelar Abu’l Nasr Muhammad ‘Arif Zainul ‘Asiqin (1753-1773).
Perlawanan rakyat Banten terhadap hegemoni VOC terus berlangsung.
Bahkan setelah Pemerintah Kerajaan Belanda mengambil alih kekuasaan dari
tangan VOC, perlawanan rakyat tersebut tidaklah menjadi menurun.
Sepanjang abad ke-19, daerah Banten terus menerus dilanda konflik
senjata antara pasukan Banten dengan Pemerintah Hindia Belanda. Untuk
mengatasi perlawanan ini, pada 1809 Gubernur Jenderal Daendels menghapus
Kesultanan Banten dan bekas wilayahnya dibagi dua menjadi Caringin dan
Serang. Ketika kekuasaan berpindah ke tangan Sir Stamford Raflles
terjadi lagi perubahan wilayah di bekas Kesultanan Banten. Sejak tahun
1813, daerah ini dibagi menjadi empat kabupaten yaitu :
- Kabupaten Banten Lor (Banten Utara) yang dipimpin oleh Pangeran Suramenggala;
- Kabupaten Banten Kulon (Banten Barat) diperintah oleh Tubagus Hayudin;
- Kabupaten Banten Tengah yang diperintah oleh Tubagus Ramlan; dan
- Kabupaten Banten Kidul (Banten Selatan) yang diperintah oleh Tumenggung Suradilaga.